Jumat, 06 Maret 2009

Profesionalisme dengan Hati

Di awal tahun 2009 ini tepatnya pada akhir bulan Januari lalu beberapa guru di Kabupaten Purworejo yang lulus sertifikasi angkatan 2008 telah di wisuda. Sertifikasi ini bisa dikatakan sebagai angin segar bagi para guru untuk meningkatkan kesejahteraannya. Terlepas dari niat baik pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan profesi guru, para guru yang telah lulus sertifikasi dianggap telah memiliki profesionalisme seorang guru dan diharapkan mampu untuk semakin meningkatkan kompetensinya sebagai seorang guru.

Menilik dari para guru yang telah lulus sertifikasi sebelumnya, dengan gaji tambahan yang telah mereka terima ada satu konsekuensi yang harus dilaksanakan yaitu beban mengajar 24 jam pelajaran dalam satu minggu. Hal ini nantinya juga akan menjadi kewajiban bagi para guru yang telah di wisuda januari kemaren. Akibatnya, para guru menjadi kebingungan untuk menjalankan kewajiban 24 jam mereka karena hampir semua sekolah kekurangan jam untuk melaksanakan kewajiban tersebut. Tak heran jika para guru sendiri akhirnya juga saling berebut jam untuk menunjukkan “profesionalisme” mereka.

Profesionalisme guru dalam mengajar (pembelajaran) tentunya tidak hanya dilihat dari kuantitas pembelajaran yang dilaksanakan, tetapi tentunya juga kualitas pembelajaran yang dilaksanakan. Apakah seorang guru selalu menggunakan metode ceramah dalam setiap pembelajarannya ataukah mampu memberikan pembelajaran dengan metode yang bervariasi, tentunya juga perlu mendapat perhatian. Dalam pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai agen pembelajaran. Keempat kompetensi itu adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial. Pertama, Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kedua, Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Ketiga, kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan. Keempat, kompetensi sosial merupakan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik dan masyarakat sekitar.

Dalam kenyataan yang ada profesionalisme guru baru sebatas dilihat dari kuantitas pembelajaran atau banyaknya jam mengajar, padahal dalam pelaksanaan sertifikasi itu sendiri keempat kompetensi tadi merupakan tolok ukur lolos tidaknya seorang guru dalam proses sertifikasi. Dari keempat kompetensi tersebut baru kompetensi pedagogik (sebatas pelaksanaan pembelajaran) yang disorot sebagai tolok ukur peningkatan profesionalisme guru. Yang menjadi pertanyaan, apakah cukup itu saja tuntutan profesionalisme seorang guru? Apakah guru dengan tingkat profesionalisme demikian mampu mewujudkan pendidikan nasional kita yang sekarang ini semakin menyedot anggaran negara? Apakah profesionalisme guru sekarang ini telah sebanding dengan pajak yang ditarik dari masyarakat, biaya dari rakyat yang telah terjerat pula dengan himpitan kebutuhan hidup? Apakah profesionalisme guru mampu membawa kemajuan bangsa dan rakyat Indonesia?

Pada peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2008 lalu, Presiden RI telah mengingatkan dua tujuan kembar pelaksanaan pendidikan kita. Pertama, mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi agar manusia Indonesia menjadi manusia yang berkemampuan dan unggul. Kedua, membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul, bangsa yang memiliki semangat dan etos kerja, bukan bangsa pemalas, bukan bangsa yang mudah menyerah. Inti dari kedua tujuan pelaksanaan pendidikan tersebut adalah bagaimana para pelaku pendidikan mampu untuk memberikan pengetahuan dan juga membentuk karakter (character building) peserta didiknya. Dari kedua tujuan tersebut tentunya tidak cukup jika hanya dengan dengan bermodalkan satu kompetensi yaitu pedagogik saja, tetapi keempat kompetensi guru harus bisa dijalankan sebagai satu kesatuan.

Profesi guru tidak sekedar mengajarkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Profesi guru tidak juga hanya sebatas bertugas sebagai pengajar, tetapi masih ada tugas-tugas lain seperti sebagai pendidik, sebagai model dan teladan, sebagai motivator, inisiator, innovator dll. Agar pendidikan kita mampu membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul, mempunyai semangat dan etos kerja, membangun karakter peserta didik maka diperlukan guru yang memiliki keempat kompetensi tadi. Seorang guru dituntut profesional untuk mampu menjalankan tugasnya mendidik siswa-siswinya dan menjadi teladan untuk membentuk karakter yang unggul, mencintai bangsa mereka sendiri. Guru harus mampu membimbing peserta didiknya agar berkembang sesuai dengan potensinya masing-masing, yang semua itu dibutuhkan kepedulian guru kepada peserta didiknya. Tentang kepedulian kepada peserta didik ini, pernah disampaikan oleh Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab Purworejo dalam kegiatan pemberdayaan MGMP MIPA SMA Kab Purworejo beberapa waktu lalu. Pada kesempatan tersebut disampaikan bahwa kompetensi sosial guru diwujudkan dengan kepeduliaan guru kepada peserta didik. Kepeduliaan kepada peserta didik, termasuk dalam membimbing, memotivasi peserta didik merupakan tugas guru yang memerlukan kerja hati para guru. Dalam kesempatan itu pula Beliau juga sempat mengajak kepada para guru yang hadir untuk mengajar dengan hati.

Untuk mengukur profesionalisme guru dalam keempat kompetensinya memanglah tidak mudah. Tidak heran jika pihak yang berwenang dalam melakukan pengawasan profesionalisme guru pun baru sebatas melakukan pengawasan akan jam pelajaran yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan. Tetapi jika kita benar-benar memiliki kesadaran akan konsekuensi rizki yang kita dapatkan, kesadaran akan pentingnya keberhasilan tujuan pendidikan nasional kita, akan nasib bangsa kita, nasib generasi yang akan datang tentunya kita akan dengan kesadaran sendiri meningkatkan profesionalisme dalam keempat kompetensi tadi. Kunci adanya kesadaran tadi adalah ketika para guru mau menggunakan hati dalam menyikapi sertifikasi, dengan menunjukkan profesionalismenya yang tidak sebatas profesionalisme yang sedang dituntutkan saja (jam mengajar).

Merancang pembelajaran yang menarik merupakan salah satu contoh wujud profesionalisme yang dalam melakukannya memerlukan hati para guru agar peserta didik mampu merasakan sisi kemanusiaan dalam pembelajaran tersebut. Demikian pula membimbing dan memotivasi peserta didik tidak akan dapat dilakukan dengan baik tanpa menggunakan hati. Menjadi pribadi yang arif, guru yang berkepribadian mantap, stabil , berwibawa dan berakhlak mulia yang mampu dijadikan teladan bagi peserta didik juga harus bermodalkan hati.

Menjadi profesional baik sebagai guru ataupun profesi yang lain adalah ketika kita melakukan dengan sepenuh hati. Meningkatkan kemampuan diri diperlukan motivasi dalam diri yaitu kesadaran dari hati. Meningkatkan profesionalisme tidak lain adalah meningkatkan kemampuan diri agar selalu maju dan berkembang, dan semua itu dimulai dari kesadaran hati kita. Mari kita belajar menjadi profesional dengan menggunakan hati kita.

Kamis, 05 Maret 2009

Peran Guru dalam Membentuk "The Critical Mass"


Pada Bulan Mei 2008 yang lalu Bangsa Indonesia memperingati dua hari besar kenegaraan, yaitu Hari Pendidikan Nasional pada tanggal 2 Mei dan Hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei. Ada hal yang berbeda dari tahun-tahun sebelumnya karena pada tahun 2008 ini diperingati 100 tahun Kebangkitan Nasional dan disiarkan serentak oleh beberapa stasiun televisi di Indonesia, satu hal yang sangat jarang terjadi di masa sekarang ini di negara kita. Pada Peringatan Hari Kebangkitan Nasional tersebut Bapak Presiden RI mengumandangkan slogan “Indonesia Bisa” di dalam deklarasi Beliau dan mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk menyatukan tekad meneruskan pembangunan bangsa menuju Indonesia maju dan sejahtera di abad 21.


Sebelumnya, pada peringatan Hari Pendidikan Nasional di Universitas Airlangga yang mengambil tema “Hardiknas sebagai bagian dari peringatan satu abad Kebangkitan Bangsa”, Bapak Susilo Bambang Yudoyono juga telah menyampaikan ajakan untuk meningkatkan kemandirian bangsa, daya saing bangsa dan peradaban bangsa. Untuk menjadi bangsa yang maju, kita harus memiliki “The Critical Mass”, yaitu lapisan anak bangsa yang memiliki keunggulan dan daya saing yang tinggi. Oleh karena itu pada sambutannya, Beliau juga mengingatkan dua tujuan kembar dari pendidikan nasional kita. Pertama, mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi agar manusia Indonesia menjadi manusia yang berkemampuan dan unggul. Kedua, membentuk nilai dan karakter bangsa yang unggul, memiliki semangat dan etos kerja, bukan bangsa pemalas dan mudah menyerah. Selain itu, Beliau juga menghimbau agar semua tenaga kependidikan terus menerus berusaha untuk menghasilkan anak didik yang pandai, berdaya saing, berkarakter kuat, dan bermental tangguh.


Dari sambutan Presiden RI pada dua kesempatan tersebut, ada hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi para guru di Indonesia, yaitu bagaimana peran para guru dalam mewujudkan harapan bapak presiden, dan juga harapan Bangsa Indonesia terhadap pendidikan di negara kita. Tenaga Kependidikan, khususnya para guru diharapkan mampu untuk menghasilkan “The Critical Mass” yang merupakan modal bangsa untuk menjadi negara yang maju. Calon “The Critical Mass” atau lapisan anak bangsa yang unggul itu adalah para anak didik yang sekarang ini menjadi tanggung jawab dari bapak ibu guru di seluruh Indonesia.


The Critical Mass

Dalam kamus Bahasa Inggris, “Critical” berarti kritis/genting, sedangkan “Mass” diartikan massa (banyak sekali). The Critical Mass dapat diartikan sebagai kelompok warga negara yang mampu untuk mengentaskan negara dari keterpurukan/masa kritis menuju kebangkitan dan kemajuan bangsa. The critical mass adalah warga negara yang dicirikan: 1) mempunyai pikiran maju untuk membangun bangsa; 2) mempunyai disiplin tinggi; 3) mempunyai etos kerja yang tinggi dan 4) profesional.


Belajar dari negara India dan Malaysia, mereka mengirimkan orang-orang ke luar negeri (negara maju tentunya) hanya untuk dapat menyediakan The critical mass tersebut. Walaupun tidak semua orang yang mereka kirim kembali ke negaranya, tetapi beberapa yang kembali mampu untuk membentuk the critical mass. Pada akhirnya Malaysia dan India menjadi negara yang lebih maju dari negara kita. Belajar dari hal tersebut, apakah kita harus mengirimkan warga negara sebanyak-banyaknya untuk membentuk The critical mass? Apakah mereka akhirnya nanti mau kembali lagi ke negaranya memajukan tanah air mereka? Apakah membentuk warga negara yang disiplin, beretos kerja tinggi harus dengan keluar negeri? Apakah pendidikan di negara kita tidak sanggup membentuk anak-anak yang cinta tanah air, disiplin, beretos kerja tinggi dan profesional? Kalau bicara tentang profesional khususnya penguasaan pengetahuan mungkin kita harus banyak menimba ilmu sampai keluar negeri. Namun tentang cinta tanah air, disiplin dan etos kerja, tak mampukah pendidikan negara kita membentuknya?


Potensi Guru dalam Membangun “The Critical Mass”

Pasal 28 ayat 3 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan menyatakan bahwa ada empat kompetensi yang harus dimiliki guru sebagai agen pembelajaran. Keempat kompetensi itu adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional dan kompetensi sosial (Syahruddin, 2007).


Kompetensi pedagogik, yaitu kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik yang meliputi pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik dan berakhlak mulia. Kompetensi profesional merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkannya membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang ditetapkan oleh Standar Pendidikan Nasional. Kompetensi sosial merupakan kemampuan pendidik sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua/wali peserta didik dan masyarakat sekitar (Syahruddin,2007).


Proses sertifikasi guru yang sedang berlangsung sekarang ini adalah suatu upaya untuk menuntut agar para guru benar-benar memiliki keempat kompetensi tersebut. Jika semua guru di Indonesia telah memiliki keempat kompetensi tadi, maka ini akan dapat menjadi modal bagi negara kita untuk membentuk “The Critical Mass”.


Menurut John Stuart Mill, nilai suatu negara dalam jangka panjang adalah kumpulan nilai dari individu-individu yang terhimpun di dalamnya (Ibrahim, 2004). Tugas para guru Indonesia adalah menyiapkan individu-individu tersebut agar mempunyai “nilai”. Masa depan negara tergantung dari nilai/kualitas generasi muda sekarang ini. Generasi yang unggul tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki semangat juang yang tinggi dan tidak mudah menyerah, yang terwujud dalam karakter pribadi yang kuat.


Dalam sistem Tripusat Pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro, lingkungan pendidikan ada tiga, yaitu Keluarga (lingkungan rumah), Perguruan (lembaga pendidikan/sekolah) dan lingkungan masyarakat. Pada ketiga lingkungan tersebut, siswa dibina ke arah sosok yang diharapkan (Wahyudin, 2003). Dari ketiga lingkungan tadi, lingkungan pendidikan (sekolah) merupakan lingkungan yang paling potensial dan paling penting dalam membangun “The Critical Mass” karena selain memberikan ilmu pengetahuan, para guru di sekolah mempunyai pengetahuan yang lebih banyak tentang perkembangan anak atau remaja. Pengetahuan ini merupakan modal bagi guru untuk melakukan pendekatan dan memberikan masukkan kepada anak didiknya. Terlebih lagi bagi siswa yang berasal dari keluarga dan lingkungan masyarakat dengan tingkat pendidikan menengah ke bawah, lingkungan sekolah (guru) adalah faktor yang paling bertanggung jawab dalam membentuk “The Critical Mass”.


Guru dengan kompetensi pedagogik yang dimilikinya akan mampu memahami peserta didiknya dan bisa saja melebihi pemahaman para orang tua terhadap anak mereka sendiri. Hal ini dapat saja terjadi karena guru lebih banyak melihat dan mengamati bagaimana peserta didiknya berinteraksi dengan teman-temannya. Selain itu guru juga dapat mengenali potensi yang dimiliki peserta didik, yang bisa saja tidak tampak ketika anak berada di lingkungan keluarga. Dengan kelebihan tersebut maka seorang guru mempunyai lebih banyak kesempatan untuk mengoptimalkan potensi anak didik dan juga menumbuhkan serta meningkatkan sikap mental yang baik pada anak didiknya.


Potensi guru yang lain dalam membentuk “The Critical Mass” adalah pada kompetensi kepribadian. Guru merupakan model atau teladan bagi para peserta didik. Kemantapan dan kedewasaan seorang guru akan menampilkan kemandirian dalam bertindak, bijaksana dalam bersikap dan memiliki semangat/etos kerja yang tinggi. Apa yang dimunculkan dari sosok seorang guru di dalam pembelajaran akan diamati dan terekam di dalam pikiran dan perasaan peserta didik.

Optimalisasi Guru sebagai Pendidik dan Motivator

Guru adalah pendidik, yang menjadi tokoh panutan bagi anak didiknya. Untuk menjadi seorang pendidik, guru harus memiliki standar kualitas pribadi tertentu, yang mencakup tanggung jawab, wibawa, mandiri dan disiplin (Mulyasa, 2005). Mendidik berarti mentransfer nilai-nilai kepada peserta didik. Dengan keteladanan sikap dan tingkah laku gurunya, diharapkan akan tumbuh sikap mental yang baik kepada peserta didik (Sardiman,2007).
Motivasi adalah keseluruhan daya penggerak di dalam diri seseorang yang menimbulkan keinginan untuk melakukan sesuatu, dan bila dia tidak suka melakukan sesuatu tersebut maka akan berusaha meniadakan atau mengelakkan perasaan tidak suka itu. Peranan guru sebagai motivator sangat penting dalam pembelajaran karena menyangkut esensi mendidik yang membutuhkan kemahiran sosial, dan juga menyangkut performance dalam arti personalisasi dan sosialisasi diri (Sardiman,2007).


Guru sebagai pendidik merupakan posisi yang sangat dekat dengan anak-anak dan remaja, tetapi pada pelaksanaan pembelajaran seorang guru sering melupakan peran ini. Orientasi dan penghargaan masyarakat terhadap nilai akademik berimbas kepada pembelajaran yang cenderung hanya berfokus pada transfer ilmu pengetahuan dan melupakan tujuan pendidikan sebagai pembentuk karakter dan sikap mental peserta didik. Selain itu, beban materi pembelajaran dan keterbatasan waktu pembelajaran juga dianggap sebagai penyebab untuk melupakan peran guru sebagai pendidik tersebut.


Bukti bahwa para guru cenderung mengutamakan transfer ilmu pengetahuan adalah pemberian motivasi yang dilakukan guru kepada peserta didik lebih banyak berupa motivasi untuk mengajak anak didik tertarik dan termotivasi mengikuti pelajaran atau motivasi untuk belajar. Tujuan akhir dari motivasi ini adalah peserta didik menguasai materi yang dipelajari. Memang motivasi seperti ini yang selalu diajarkan kepada guru dalam membuat rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). Selain itu dalam beberapa literatur tentang motivasi dalam pembelajaran cenderung hanya motivasi belajar yang dibicarakan, sehingga guru “hanya mengenal” motivasi belajar. Akibatnya, selama ini guru lebih banyak hanya sebagai motivator untuk menciptakan pembelajaran yang baik.


Dengan empat kompetensi yang dimiliki, seorang guru tidak hanya bisa sebagai motivator belajar saja, tetapi lebih luas lagi dapat menjadi motivator dalam membentuk karakter atau kepribadian peserta didik. Bahkan seorang guru mampu sebagai motivator dalam membentuk pribadi yang sukses, yang pada akhirnya membentuk “The Critical Mass”. Para guru bisa menjadi motivator-motivator yang potensial karena mereka lebih mengenal bagaimana karakter peserta didik sehingga guru dapat memberikan motivasi yang tepat dan berkesinambungan. Pribadi guru juga merupakan sosok yang dekat dengan peserta didik sehingga anak didik memiliki lebih banyak kesempatan mengamati dan berinteraksi langsung dengan model atau teladan mereka. Pemberian motivasi untuk membentuk karakter peserta didik (character building) seperti kesadaran diri, semangat kerja dan fokus pada tujuan/cita-cita akan sangat menguntungkan bagi guru sendiri. Setiap guru yang menjadi motivator dalam pembelajaran tidak hanya menghasilkan peserta didik yang termotivasi untuk mempelajari suatu mata pelajaran atau materi tertentu, tetapi lebih menyeluruh pada semua hal yang perlu dipelajari oleh peserta didik. Hal ini dapat terjadi karena dengan dengan kesadaran dan semangat baru peserta didik, mereka dengan kesadaran sendiri melakukan belajar dengan sungguh-sungguh.


Pembelajaran yang Membentuk “The Critical Mass”

Semua guru yang mengajar pada mata pelajaran apapun, baik tingkat satuan pendidikan SD, SMP atau SMA dapat berperan dalam membentuk “The Critical Mass”. Kuncinya hanya satu, yaitu kemauan dan kesadaran para guru untuk memasukkan perannya sebagai pendidik dan motivator ke dalam pembelajaransehingga akan terbentuk peserta didik yang cinta tanah air, disiplin dan mempunyai etos kerja tinggi. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh guru dalam pembelajaran membentuk “The Critical Mass”, antara lain:

a. Merancang pembelajaran dengan menggunakan metode tertentu sehingga dengan metode tersebut dapat menumbuhkan sikap mental yang baik pada peserta didiknya. Contohnya metode diskusi kelompok dalam pembelajaran yang berbasis problem solved akan mendidik peserta didik untuk bisa bekerja sama dalam kelompoknya dan menyatukan pendapat dalam satu kelompok sehingga diperoleh satu jawaban yang sama. Dengan contoh pembelajaran seperti ini peserta didik mendapat kesempatan untuk belajar bagaimana harus bekerja sama, saling menghargai pendapat dan fokus pada tujuan bersama. Hal tersebut sudah merupakan satu contoh mendidik anak untuk bisa bekerja sama, menghargai orang lain dan fokus pada tujuan dalam melaksanakan tugas. Contoh yang lain, dengan metode penugasan akan mendidik anak agar disiplin dan tepat waktu dalam menjalankan pekerjaan/tugas mereka.

b. Memberikan kesempatan sebanyak-banyaknya kepada peserta didik untuk dapat mengekplorasi potensi diri. Pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk dapat aktif baik secara fisik maupun aktif berpikir akan menumbuhkan rasa percaya diri peserta didik, dan tidak menjadikan mereka hanya sebagai obyek pembelajaran saja.

c. Mengajak peserta didik untuk mengambil pelajaran/teladan dari topik yang dibahas dalam pembelajaran. Misalnya dalam pembelajaran tentang sejarah penemuan teori-teori dalam ilmu fisika. Bahwa para ilmuwan harus memiliki keuletan dan semangat kerja keras serta tidak mudah menyerah yang akhirnya membawa mereka menjadi seorang penemu yang terkenal. Hal ini akan membawa peserta didik kepada suatu kesimpulan bahwa ketika mereka ingin berhasil, maka harus didasari dengan keuletan dan semangat kerja keras. Tanpa dibimbing oleh guru, peserta didik akan sulit mengenali keteladan dalam penemuan teori-teori fisika.

d. Selain menumbuhkan sikap mental positif, dalam pembelajaran juga dikenalkan bagaimana pengaruh sikap mental negatif. Misalnya dalam pembelajaran tentang pencemaran lingkungan. Bagaimana sikap tidak peduli dan egois masyarakat dalam membuang sampah di sungai atau menggunakan kendaraan bermotor dengan suara yang bising akan mengganggu dan bahkan membahayakan orang lain. Pembelajaran seperti ini akan membimbing peserta didik untuk berpikir bahwa setiap tindakan harus dipertimbangkan bagaimana pengaruhnya pada diri sendiri ataupun bagi orang lain.


Melakukan pembelajaran yang dapat membentuk sikap mental yang baik, yang pada akhirnya membentuk “The Critical Mass” tidaklah sulit. Masih banyak sekali contoh-contoh pembelajaran yang lainnya yang semuanya itu tergantung dari kreativitas para guru.

Dipublikasikan: September 2008 (WUNY THN X No 3 September 2008)