Sabtu, 10 Januari 2009

Penutup Pintu Masuknya ILmu

Setiap detik yang berlalu, yang kita lewati dalam kehidupan ini sepertinya tidak ada yang sama persis. Tiap denting suara yang ditangkap gendang telinga kita pastilah tidak sama tiap detiknya. Demikian pula halnya keteraturan nafas kita tidaklah menjamin volume udara yang kita hirup adalah sama. Dalam kehidupan, pastilah perubahan yang selalu setia menemani kita. Dalam perjalanan panjang kehidupan ini tidak hanya jalan mulus yang kita lewati tetapi jalan berkelok, naik dan turun, jalan berbatu banyak menghadang kita.

Sering kali dalam melewati jalan panjang kehidupan, kita mudah sekali untuk sombong dan merasa cukup dengan “sedikit” ilmu/pengalaman yang kita miliki. Seperti halnya ketika kita naik kendaraan, mungkin saja kita baru bisa membelok ke kanan, tetapi ketika kita menemui belokan ke kiri, muncul dalam hati kita, “Ah cuma belokan”. Padahal ketika kita membelok ke kiri tetapi kita melihat kaca spion kanan, mungkin kita akan melenceng keluar dari jalur yang seharusnya kita lewati. Kita tidak sadar bahwa apapun yang kita hadapi akan selalu berbeda, dan dari tiap yang berbeda tersebut pastinya membutuhkan ilmu yang baru, ibarat enzim dalam tubuh kita dimana satu enzim hanya akan cocok untuk satu substrat/senyawa. Bahwa tiap moment kejadian atau masalah pastilah membutuhkan satu pemecahan yang tepat. Dan otak kitalah yang harusnya menambah pengetahuannya agar mampu menyediakan pemecahan untuk tiap permasalahan kita, seperti halnya tiap sel tubuh kita harus mampu menghasilkan satu enzim untuk memecah tiap substrat /senyawa yang ada.

Permasalahannya adalah ketika kita tidak lagi mau membukakan pintu untuk masuknya ilmu ke otak kita sehingga otak kita tidak mempunyai cukup modal pengalaman dan ilmu untuk membuat satu pemecahan yang tepat untuk satu jenis permasalahan kita. Pintu masuknya ilmu ke otak telah kita tutupi dengan kesombongan bahwa kita telah memiliki banyak pengalaman dan ilmu. Kesombongan bahwa kita lebih baik atau bahkan paling baik daripada orang lain sehingga dengan mudah dan bangganya kita menyepelekan orang lain, bahkan pada orang yang seharusnya kita hormati.

Saya meminjam istilah dari salah seorang teman diskusi saya, bahwa pendidikan kita yang paling sempurna bukanlah ketika kita mendapatkan pendidikan formal dari sekolah dasar, menengah,sarjana ataupun pasca sarjana yang sering dibangga-banggakan, tetapi pendidikan paling sempurna adalah pendidikan alam raya yaitu pendidikan sepanjang kehidupan kita di dunia ini yang langsung dimaha gurui oleh sang pencipta alam dan seisinya. Dan Allah memberikan pembelajarannya kepada kita dapat melalui apapun dan siapapun, bisa melalui kesedihan, bisa melalui kegembiraan. Pembelajaran itupun bisa melalui seseorang yang lebih tua dari kita, bisa juga dari anak kecil. Kita perlu renungkan yang pernah disampaikan Mahatma Gandhi, “Aku juga belajar, bahkan kepada bayi yang masih dalam buaian”. Kita harus instrospeksi diri kita,dan bandingkan dengan seorang Mahatma Gandhi,yang tidak pernah merasa malu untuk belajar dari sapapun.

Ketika kita sudah merasa cukup (sombong) dengan ilmu kita, tentunya kita akan menjadi orang yang merugi, karena Allah juga akan mencukupkan pelajaran/ilmunya untuk kita. Tetapi masih saja kita mudah tergelincirkan oleh kesombongan, sampai saatnya kita harus kembali berjalan di pedesaan, tak selalu berjalan di jalur tol yang mulus. Mungkin Allah sedang memberikan jalan tanah pedesaan, kesusahan dan masalah pada diri kita agar kita sejenak bisa mengamati tanaman padi di sawah pada sepanjang perjalanan kita ini. Agar kita mampu sejenak berpikir dalam, mengapa semakin berisi biji padi semakin tanaman padi itu merunduk. Semakin berilmu harusnyalah kita semakin merasa rendah karena semakin kita banyak ilmu akan membuat kita semakin sadar bahwa ilmu kita hanyalah sebatas biuh di lautan luas, hanya sebutir pasir di pantai. Semoga kita bisa belajar dari sang padi.#

0 komentar:

Posting Komentar